Jumat, 22 Januari 2016

23 Januari 2016

23 Januari 2016

Hujan semalaman benar-benar membuat otakku begitu beku sehingga sulit berpikir. Setelah menyelesaikan unduhan drama Korea, sekaranglah waktunya untuk kembali menuliskan uneg-uneg yang ada di pikiranku. Pernahkah pembaca mempertanyakan soal ejaan yang disempurnakan atau lazim disingkat EYD yang pertama kali diresmikan pada bulan Agustus 1972 itu? Tahun dan bulan ini juga dijadikan sebagai tonggak pertama bagi Malaysia untuk memulai ejaannya yang baru. Hadir dengan nama ejaan rumi, Malaysia berupaya menghilangkan jejak kolonialisme Inggris dari bahasa Melayu yang merupakan bahasa resmi negeri monarki tersebut.

Malaysia menunjuk Dewan Bahasa dan Pustaka sebagai lembaga yang berwenang mengurusi bahasa, sementara Indonesia mendirikan Pusat Bahasa untuk menjalankan fungsi yang kurang lebih sama. Sebagai penguasa kelahiran jawa, Presiden Soeharto mencoba mewarnai ejaan yang diusulkannya dengan aksen berbicara orang Jawa ketika menggunakan bahasa persatuan ini. Salah satu kata yang jadi korban penjawaan tersebut adalah huruf h dan f.

Seperti sudah jamak diketahui, bahasa Jawa adalah bahasa yang ditulis menggunakan aksara jawa yang menurut sejarahnya merupakan hasil modifikasi dari aksara Pallawa asal India. Aksara hasil gubahan Ajisaka ini bahkan masih terus digunakan meski pengaruh Islam sudah mulai masuk di tanah jawa.

Salah satu ciri utama aksara Jawa yang sangat menonjol adalah absennya huruf F. Seluruh kosakata yang berhuruf awal F yang berasal dari bahasa Arab semuanya dituliskan dengan menggunakan aksara Pa. Ciri yang melekat pada aksara Jawa ini kemudian coba dipaksakan penerapannya pada bahasa Indonesia dengan mengganti seluruh kosakata F yang berasal dari bahasa Arab dengan huruf P. Pikir, Paham, Napas, adalah beberapa contoh kosakata Melayu dari Arab yang ditukar paksa ejaannya.agar selaras dengan bahasa jawa yang memang tidak mengenal huruf F.

Ciri kedua yang juga melekat pada aksara Jawa adalah huruf Ha yang dibaca a. Dalam bahasa Jawa, kata-kata seperti Hutang dibaca utang meski aksara yang digunakan adalah huruf Ha yang mendapatkan suku untuk menghasilkan pengucapan U. Segera setelah mengetahui hal ini, Pusat Bahasa pun lantas mencoba untuk menyesuaikan dirinya dengan selera penguasa waktu itu dengan menghilangkan huruf H dalam terbitan kamus besar bahasa Indonesia yang terbaru.

Lucunya, pengubahan secara sengaja tersebut ternyata tidak berlaku alias dikecualikan bagi kata-kata yang diserap dari bahasa Belanda dan Inggris, Fungsi, fungi, konferensi adalah diantara contoh kata yang tidak diubah tersebut. Sementara untuk kata yang berawalan H, penghapusannya berlangsung secara tidak konsisten antara satu kata dengan kata lainnya. Kata-kata seperti hutang, himbau, hembus ditukar ejaannya dengan menghilangkan h didepannya, sementara kata seperti hitam, hirup, hangus, hitung tidak mengalami perubahan sama sekali.

Ketika masa reformasi bergulir dan para pemimpin datang silih berganti, persoalan kebahasaan inipun tidak kunjung mendapatkan perhatian dari pemerintah. Bahasa yang semestinya menjadi kebanggan bangsa Indonesia ini harus menjadi korban ambisi penguasa yang menganggap bahasa jati diri negara ini sebagai barang mainan yang bisa diperlakukan dengan sesuka hati. Mudah-mudahan kedepannya, pemerintah bisa mengambil perhatian lebih dalam menuntaskan masalah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar