Jumat, 05 Februari 2016

6 Februari 2016

6 Februari 2016

Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pertama kali dinyatakan secara resmi pada tanggal 28 Oktober 1928. Hari yang dikenali sebagai hari sumpah pemuda ini mejadi tonggak perjuangan penduduk Hindia Belanda sebagai satu bangsa yang satu yaitu Bangsa Indonesia. Jika sebelumnya perjuangan mengusir penjajah asing dilakukan atas dasar pembelaan terhadap raja dan para tetua suku, maka sejak tanggal 28 itulah perjuangan memerdekakan rakyat dari penjajahan mulai menemukan bentuknya. Sebagai negara yang mengambil bentuk republik, kewujudan Indonesia sebagai sebuah negara tentu memerlukan perangkat-perangkat kenegaraan yang lebih mengedepankan pada semangat kesetaraan, persaudaraan dan kebersamaan sebagai sebuah bangsa. 

Salah satu alat pemersatu penting sebuah bangsa adalah bahasa. Dengan keberadaan bahasa Melayu yang telah lama mengakar dalam masyarakat Indonesia, maka menjadi wajar bila pada akhirnya bahasa inilah yang dipilih sebagai bahasa nasional. Namun demikian lantaran perbedaan corak pemerintahan, Bahasa Melayu yang berkembang di Indonesia pun tentu akan lebih banyak diwarnai oleh simbol-simbol republik yang mengedepankan kesetaraan manusia didepan hukum.

Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada tahun 1939:

"Jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia."

Penyesuaian yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini umumnya dengan cara menghilangkan beberapa kosakata yang bernuansa feodalisme yang menjadi ciri khas bahasa kerajaan Melayu di masa itu. 

Namun begitu ketika orde lama berakhir dan seorang presiden kelahiran Jawa mulai memegang tampuk pimpinan dengan gaya kekuasaan absolut ala kaum ningrat Jawa, Bahasa Indonesia pun sekali lagi harus dipaksa mengalami pengubahan yang menjadikannya bercorak kejawen, Eufimisme kembali digalakkan dengan mengganti kata yang bermakna lugas khas bahasa kaum revolusioner menjadi kata yang lebih berciri khas kaum ningrat Jawa yang penuh dengan sopan santun serta sarat dengan basa-basi.

Slogan-slogan revolusi yang digaungkan oleh bung Karno, coba dikikis penggunaanya dengan menawarkan istilah jawa sebagai penggantinya. Berdikari yang merupakan slogan populer era orde lama diganti dengan mandiri dan maknanya pun mulai menghilang dari buku-buku pelajaran. Lucunya, kata hasil kreasi Bung Karno yang merupakan akronim dari Berdiri Diatas Kaki Sendiri ini justru menjadi begitu laris dan populer di negara jiran Malaysia hingga saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar